Jumat, 27 September 2013

niat

عَنْ اَمِيْرِالْمُؤْمِنِيْنَ اَبِى حَفْصٍ عُمَرُ ابْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ الله ُعَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّّّ الله ُعَلَيْهِ وَسَلَمْ يَقُوْلُ : اِنَّمَا الاَ عْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَاِنَّمَالِكُلِّ امْرِئٍ مَانَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ اِلىَ اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ اِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا, اَوِامْرَاَةٍيَنْكِعُهَا فَهِجْرَتُهُ اِلىَ مَاهَاجْرَ اِلَيْهِ (رَوَاهُ الْبُخَارِى وَمُسْلِم)

Niat itu adalah jalan pertama menuju Allah SWT, dikarenakan Allah SWT melihat kepada niatnya. Niat seorang mu`min lebih afdol daripada amalnya, bila seorang yang berniat dia tidak melakukan amal itu maka sudah dihitung satu kebaikan atau satu kejelekan.

Bila kebaikan yang dikerjakan dibarengi dengan niat maka ia akan mendapatkan 10 pahala. Tetapi bila kejelekan yang ia niatkan, maka mendapat satu dosa dari kejelekan yang ia perbuat.

Dan sesungguhnya Allah SWT berfirman “Kami telah mengutus Rosul pada tiap-tiap umat untuk menyeru dan menyembah kepada Allah SWT dan menjauhi larangan-Nya.

Maka niat yang baik, ia akan mendengar seruan Allah SWT dan Rosul-Nya dan membulatkan niatnya untuk menjalankan perintah Allah dan Rosul-Nya. Ini bagi orang yang berakal.

Di dalam syari`at, niat mempunyai dua pembahasan :

Niat ikhlas dalam beramal hanya untuk Allah semata dan tentang hal ini biasanya dibahas oleh ulama-ulama tauhid dan ahlak serta ulama-ulama tazkiah (tasawuf) atau penyucian diri

Niat membedakan ibadah-ibadah antara ibadah yang satu dengan ibadah yang lainnya dan biasanya ini dibahas oleh ulama-ulama ahli fiqih.

Imam Ibnu Daqiqul Ied ra berkata : اِنَّمَا itu berfungsi Pembatasan dan maksudnya adalah menerapkan hukum yang telah disebutkan dan menjadikan hukum selamanya (yang tidak niatkan)

Imam Nawawi ra berkata : Jumhur (kebanyakan) ulama dari ahli bahasa dan usul serta selain mereka berkata lafadz اِنَّمَا berfungsi sebagai pembatasan yaitu menetapkan yang disebutkan dan meniadakan yang tidak disebutkan.

Jadi maksud اِنَّمَا الاَ عْمَالُ بِالنِّيَّات yaitu sah atau tidaknya amal perbuatan suatu ibadah itu tergantung kepada niatnya.

Imam Nawawi ra berkata : Sesungguhnya amal perbuatan itu diberi pahala berdasarkan niat dan tidak akan diberi pahala jika amal perbuatan tersebut tanpa niat.

Imam Ibnu Daqiqul Ied ra berkata : Yang disebut dengan amal disini adalah semua amal yang dibenarkan menurut ilmu syari`at sehingga setiap amal yang dibenarkan syari`at tanpa niat maka tidak berarti apa-apa menurut agama islam.
Lalu diteruskan dengan وَاِنَّمَالِكُلِّ امْرِئٍ مَانَوَى Dan sesungguhnya setiap orang akan dibalaskan berdasarkan apa yang diniatkannya

Allah SWT tidak melihat kepada jasad dan perbuatan kita akan tetapi Allah melihat kepada niatnya seeorang karena niat itu tempatnya berada di dalam hati dan hati merupakan tempat pandangannya Allah SWT.

Oleh karena itu apabila kita mau beramal maka usahakan niat kita karena Allah bukan karena sebab yang lain, bila seseorang sudah menguatkan niatnya karena Allah semata niscaya amalnya jalan terus menerus dan apabila bukan karena Allah maka niscaya akan terputus sebagaimana ulama berkata :

ما كا ن لله استمروماكان لغيرالله انقطع

Selain itu apabila kita melakukan sesuatu maka perbanyaklah niat-niat yang baik karena berapa banyak amal yang banyak menjadi sedikit pahalanya dibarengkan niat dan berapa banyak pula amal yang sedikit menjadi banyak dibarengkan niat, maka hendaklah kita mengikuti orang-orang sholeh terdahulu yana mana mereka lebih mengetahui terhadap niat-niat yang baik, dengan cara kita berniat di dalam hati “aku berniat sebagaimana orang-orang sholeh terdahulu berniat”
نويت على مانوى سلف الصالح

Maka niscaya amal kita akan dihitung banyak oleh Allah SWT karena kita berniat dengan niatnya orang-orang sholeh terdahulu
Apr 18

Berniat Seperti Orang Orang Sholeh Terdahulu


Allah SWT tidak melihat kepada jasad dan perbuatan kita akan tetapi Allah melihat kepada niatnya seeorang karena niat itu tempatnya berada di dalam hati dan hati merupakan tempat pandangannya Allah SWT.

Oleh karena itu apabila kita mau beramal maka usahakan niat kita karena Allah bukan karena sebab yang lain, bila seseorang sudah menguatkan niatnya karena Allah semata niscaya amalnya jalan terus menerus dan apabila bukan karena Allah maka niscaya akan terputus sebagaimana ulama berkata :

ما كا ن لله استمروماكان لغيرالله انقطع

Selain itu apabila kita melakukan sesuatu maka perbanyaklah niat-niat yang baik karena berapa banyak amal yang banyak menjadi sedikit pahalanya dibarengkan niat dan berapa banyak pula amal yang sedikit menjadi banyak dibarengkan niat, maka hendaklah kita mengikuti orang-orang sholeh terdahulu yana mana mereka lebih mengetahui terhadap niat-niat yang baik, dengan cara kita berniat di dalam hati “aku berniat sebagaimana orang-orang sholeh terdahulu berniat”

نويت على مانوى سلف الصالح

Maka niscaya amal kita akan dihitung banyak oleh Allah SWT karena kita berniat dengan niatnya orang-orang sholeh terdahulu
Apr 18

Sayyidah Nafisah Guru Imam Syafi’i.


Sayyidah Nafisah Guru Imam Syafi’i Sayyidah Nafisah adalah putri Hasan al-Anwar bin Zaid bin Hasan bin Ali dan Sayyidah Fathimah az-Zahra', putri Rasululullah Saw. Sayyidah Nafisah dilahirkan di Mekah al-Mukarramah, 11 Rabiul awal 145 H. Pada tahun 150 H, Hasan menjabat sebagai Gubernur Madinah dan ia membawa Sayyidah Nafisah yang baru berusia lima tahun ke Madinah.

Di sana Sayyidah Nafisah menghafal Al-Qur'an, mempelajari tafsirnya dan senantiasa menziarahi makam datuknya, Rasulullah Saw. Sayyidah Nafisah terkenal zuhud, berpuasa di siang hari dan bangun di malam hari untuk bertahajud dan beribadah kepada Allah SWT.

Sayyidah Nafisah mulai umur enam tahun selalu menunaikan salat fardu dengan teratur bersama kedua orang tuanya di Masjid Nabawi. Sayyidah Nafisah menikah dengan putra pamannya, Ishaq al-Mu'tamin. Pernikahan itu berlangsung pada tanggal 5 Rajab 161 H. Umur Sayyidah Nafisah ketika itu 16 tahun. Ia dikaruniai seorang putra bernama al-Qasim dan seorang putri bernama Ummu Kultsum. Sayyidah Nafisah menunaikan ibadah haji sebanyak tiga puluh kali, sebagian besar ia lakukan dengan berjalan kaki.

Hal tersebut dilakukan karena meneladani datuknya, Imam Husain yang pernah mengatakan, "Sesungguhnya aku malu kepada Tuhanku jika aku menjumpai-Nya di rumah-Nya dengan tidak berjalan kaki.

" Riwayat-riwayat­ tentang Sayyidah Nafisah kebanyakan dinisbahkan kepada putri saudaranya, Zainab binti Yahya al-Mutawwaj, yang selalu menyertai dan menemaninya sepanjang hidupnya, serta tidak mau menikah karena ingin selalu melayani dan menyenangkannya. Zainab binti Yahya, saat berbicara tentang Sayyidah Nafisah, mengatakan, "Bibiku hafal Al Qur'an dan menafsirkannya, ia membaca Al Qur'an dengan menangis sambil berdo’a, 'Tuhanku, Mudahkanlah untukku berziarah ke tempat Nabi lbrahim as.

" Sayyidah Nafisah tahu bahwa Nabi Ibrahim adalah datuk para nabi, jadi datuk dari ayahnya juga, Muhammad Saw. Dan Rasulullah Saw mengatakan, "Akulah yang dimaksud dalam do’a Ibrahim as ketika berdo’a, “Ya Tuhan kami, utuslah kepada mereka seorang rasul di antara mereka yang akan membacakan ayat-ayat Mu kepada mereka dan akan mengajarkan kitab dan hikmah kepada mereka serta akan membersihkan mereka; sesungguhnya Engkau Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
(QS. al-Baqarah: 129) Hijrah ke Mesir Ketika Sayyidah Nafisah menziarahi makam Nabi Ibrahim as, ia ingin menangis.

Lalu ia duduk dengan khusyuk membaca Al-Qur'an surat Ibrahim: 35-37. Hari Penyambutan di Kota al-Arisy Ketika Sayyidah Nafisah datang ke Mesir, usianya 48 tahun.

Ia tiba pada hari Sabtu, 26 Ramadan 193 H. Sewaktu orang-orang Mesir mengetahui kabar kedatangannya, mereka pun berangkat untuk menyambutnya di kota al-Arisy, lalu bersama-sama dengannya memasuki Mesir. Sayyidah Nafisah ditampung oleh seorang pedagang besar Mesir yang bernama Jamaluddin 'Abdullah al Jashshash, di rumah ini Sayyidah Nafisah tinggal selama beberapa bulan. Penduduk Mesir dari berbagai pelosok negeri berdatangan ke tempatnya untuk mengunjungi dan mengambil berkah darinya. Nafisah khawatir, hal itu akan menyulitkan pemilik rumah.

la pun meminta izin untuk pindah ke rumah yang lain. la kemudian memilih sebuah rumah yang khusus untuknya di sebuah kampung di belakang Mesjid Syajarah ad-Durr di jalan al-Khalifah. Kampung itu sekarang dikenal dengan nama al-Hasaniyyah. Penduduk Mesir yang telah mengetahui rumah baru yang ditempati oleh Sayyidah Nafisah, segera mendatanginya. Nafisah merasa dengan banyaknya orang yang mengunjunginya, benar-benar menyulitkannya untuk beribadah. Ia berpikir untuk meninggalkan Mesir dan kembali ke Madinah. Orang-orang mengetahui rencana Nafisah untuk meninggalkan Mesir.

Mereka segera kepenguasa Mesir, as-Sirri bin al-Hakam, dan memintanya agar meminta Sayyidah Nafisah untuk tetap tinggal di Mesir.

As-Sirri bin al-Hakam kemudian mendatangi Sayyidah Nafisah. Kepada as-Sirri, Sayyidah Nafisah berkata, Dulu, saya memang ingin tinggal di tempat kalian, tetapi aku ini seorang wanita yang lemah.

Orang-orang yang mengunjungiku sangat banyak, sehingga menyulitkanku untuk melaksanakan wirid dan mengumpulkan bekal untuk akhiratku. Lagi pula, rumah ini sempit untuk orang sebanyak itu. Selain itu, aku sangat rindu untuk pergi ke raudhah datukku, Rasulullah Saw." Maka as-Sirri menanggapinya, "Wahai putri Rasulullah, aku jamin bahwa apa yang engkau keluhkan ini akan dihilangkan.

Sedangkan mengenai masalah sempitnya rumah ini, maka aku memiliki sebuah rumah yang luas di Darb as-Siba' Aku bersaksi kepada Allah bahwa aku memberikan itu kepadamu. Aku harap engkau mau menerimanya dan tidak membuatku malu dengan menolaknya." Setelah lama terdiam, Sayyidah Nafisah berkata, 'Ya, saya menerimanya." Kemudian ia Mengatakan, Wahai Sirri, apa yang dapat aku perbuat terhadap jumlah orang yang banyak dan rombongan yang terus berdatangan?

“Engkau dapat membuat kesepakatan dengan mereka bahwa waktu untuk pengunjung adalah dua hari dalam seminggu. Sedangkan hari-hari lain dapat engkau pergunakan untuk ibadahmu, jadikanlah hari Rabu dan Sabtu untuk mereka," kata as-Sirri lagi. Sayyidah Nafisah menerima tawaran itu. Ia pun pindah ke rumah yang telah diberikan untuknya dan mengkhususkan waktu untuk kunjungan pada hari Rabu dan Sabtu setiap minggu.
Apr 18

Usul usul dakwah (Tata tertib dakwah khuruj fii sabilillah)


Ada dua puluh lapan tertib yang harus dipatuhi oleh setiap da’ie ketika keluar di jalan Allah, iaitu;

(Keterangan : Di indonesia 28 usul dakwah, sedangkan di Negara lain hanya 12 atau 16 usul saja).

Ada dua puluh lapan tertib yang harus dipatuhi oleh setiap da’ie ketika keluar di jalan Allah, iaitu;

1. Empat perkara yang diperbanyakkan;

* Dakwah ilallah – Dakwah ijtima’i, dakwah infradi, dakwah umumi dan dakwah khususi.

* Ta’lim wal ta’lum – Ta’lim infradi, ta’lim ijtimai, halaqah tajwid, fadhilah amal dan muzakarah sifat-sifat sahabat.

* Zikir dan Ibadah – Zikir: membaca Subhanallah, wal hamdulillah, walaa ilaaha illallah, wallahu akbar; selawat, istighfar dan tilawah Al-Quran. Ibadah: Ibadah fardhu, wajib, sunat dan mustahab.

* Khidmat – Khidmat kepada diri sendiri, rombongan jemaah, (kariah)kampung dan amir jemaah.

2. Empat perkara yang dikurangkan;

* Kurangkan masa makan dan minum.

* Kurangkan masa tidur dan rehat.

* Kurangkan percakapan yang sia-sia.

* Kurangkan masa di luar masjid.

3. Empat perkara yang ditinggalkan;

* Ishraaf (perbuatan boros atau membazir).

* Berharap (dalam hati) kepada makhluk.

* Meminta kepada makhluk.

* Menggunakan barang orang lain tanpa izin.

4. Empat perkara yang tidak boleh disentuh;

* Perbedaan aqidah.

* Khilafiah/ mazhab.

* Politik, aib masyarakat, pangkat serta derma.

* Berdebat (mujadalah).

5. Empat perkara yang dijaga;

* Mengutamakan amal ijtima’i daripada amal infradi.

* Kehormatan masjid.

* Ketaatan kepada amir jemaah.

* Sabar dan tahamul (ketahanan dalam menghadapi ujian).

6. Empat perkara yang dijauhkan;

* Tankish (merendahkan).

* Tankind (mengkritik).

* Tardid (menafikan atau menolak sama sekali).

* Taqobul (membanding-bandingkan).

7. Empat pilar (tiang/ dasar) agama;

* Ahli dakwah (tabligh, da’ie, juru dakwah).

* Tadris (para ulama, pengasuh/mudir pondok pesantren/ madrasah, majlis ta’lim).

* Kanka (mursyid, ahli tareqat) dan

* Musanif (para pengarang kitab).
Apr 18

WASIAT NABI UNTUK MENYAYANGI WANITA.


Abu Hurairah r.a. meriwayatkan bahwa Nabi Saw bersabda:
"Orang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, janganlah ia menyakiti tetangganya, dan hendaklah kalian melaksanakan wasiatku untuk berbuat baik kepada para wanita. Sebab, mereka itu diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok. Dan, tulang rusuk yang paling bengkok ialah yang paling atas. Jika kamu mencoba meluruskannya berarti engkau mencoba mematahkannya, dan jika kamu membiarkannya maka ia tetap akan bengkok. Karena itu, hendaknya kalian melaksanakan wasiatku untuk berbuat baik kepada wanita." (H.R. Bukhari dan Musim, redaksi dari Bukhari)
Dalam riwayat Muslim disebutkan, "Jika engkau menikmatinya, engkau mendapatkan kenikmatan dengan yang bengkok itu, namun jika engkau mencoba meluruskannya berarti engkau mematahkannya, dan mematahkannya adalah bercerai darinya."
Apr 16

Poligaminya Rasulullah SAW


Assalamualaikum wr.wb

Semoga tulisan ini bermanfaat.

1. Aisyah binti Abu Bakar. ra.

Rasulullah menikahi Sayyidah Aisyah.ra ketika masih di Mekkah. Pernikahan ini disebutkan berdasarkan mimpi beliau. Rasulullah bersabda kepada Aisyah.ra “bahwasannya aku melihatmu dalam mimpi selama 3 hari, dimana malaikat datang kepadaku bersamamu dalam kain sutera seraya berkata “inilah istrimu”, maka aku singkapkan kain itu dari wajahmu dan aku dapati bahwa ternyata engkau (Aisyah), lalu aku berkata pada diri sendiri, jika memang ini petunjuk dari ALLAH maka aku akan segera melaksanakannya”(shahih Muslim,kitab Fadlail Al-Shahabu. Bab Fadl Aisyah. 44:2438).

Dari Al-Tirmidzi meriwayatkan dari Aisyah ra, bahwa “Jibril membawa gambar dirinya yang terbungkus dengan kain sutera hijau dan berkata “inilah istrimu didunia dan akhirat”. Dari riwayat ini maka ALLAH sesungguhnya telah memilih Aisyah ra untuk menjadi istri Rasulullah dan mengutus Jibril untuk memberitahukannya.

2. Saudah ra.

Beliau adalah Saudah binti Zam’ah Ibn Qois Al-Qursyiyah, merupakan janda dari Sukran Ibn Amru, yaitu salah seorang muslim pertama. Dua kali ikut hijrah bersama suaminya ke Habasyah, dan ketika pulang dari hijrah yang kedua inilah suaminya meninggal dunia. Dalam kondisi seperti itu, Saudah memutuskan untuk tidak kembali ke kabilahnya, karena mereka selalu memaksanya keluar dari islam serta menyakitinya dengan berbagai siksaan. Rasulullah menikahinya di Mekkah, sepeninggal istri pertama beliau, Khadijah ra. Saudah ra tergolong wanita yang sangat membutuhkan pertolongan.

3. Hafsah binti Umar Ibn Khattab

Hafsah ra merupakan janda Kunais Ibn Hudzaifah al-Anshari. Rasulullah menikahi Hafsah pada tahun 3 H, karena pertimbangan kadudukan dan kehormatan ayah Hafsah disisi Rasulullah, juga agar sama kedudukannya dengan Abu Bakar al Shiddiq dalam hal pertalian darah. Sebelumnya Umar telah menawarkan Hafsah kepada Ustman ibn Affan, beberapa saat setelah istrinya Rugayyah binti Rasulullah wafat, namun Ustman mengatakan dirinya belum berkeinginan untuk menikah lagi.Lalu Umar mengadu kepada Rasulullah, dan Rasulullah berkata bahwa Hafsah akan mendapatkan yang lebih baik dari Ustman.

4. Zainab binti Khuzaimah ra.

Beliau adalah janda Abdullah ibn Jahsy. Rasulullah menikahi nya setelah suaminya gugur sebagai syahid pada tahun 4 H.Beliau terkenal dengan kebaikan dan kelembutan hatinya terhadap fakir miskin, sehingga dijuluki “Ummul Masakin” (ibunya fakir miskin). Beliau wafat 2 bulan setelah menikah dengan Rasulullah.

5. Ummu Salmah ra.

Beliau adalah janda Abdullah ibn Abdul Asad Abu Salmah. Abdullah syahid dalam perang Uhud dan ummu Salmah menjadi Janda dengan tanggungan 4 orang anak tanpa penopang. Rasulullah menikahinya pada tahun 4 H.

6. Zainab ra.

Beliau adalah Zainab binti Jahsy ibn R’ab al-Asadiyah, Janda dari Zaid ibn Tsabit, anak angkat Rasulullah. ALLAH SWT telah melukiskan hal ini dalam Al-Quran : “Maka tatkala Zaid telah menceraikan istrinya, kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak asa keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) istri-istri anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menceraikan istrinya, dan ketetapan ALLAH itu pasti terjadi. (QS. Al=Ahzab/33:37). Dari ayat diatas jelaslah bahwa pernikahan ini merupakan suatu contoh nyata kepada orang mukmin bahwa boleh menikahi istri anak angkat yang telah diceraikan.

7. Ummu Habibah ra.

Beliau adalah Ramlah binti Abu Sufyan ibn Harb ra. dan dijuluki Ummu Habibah. Seorang janda dari Ubaidillah ibn Jahsy. Bersama suaminya hijrah ke Habasyah untuk menghindari siksaan kaum Quraisy.Tetapi suaminya meninggal dunia disana, sehingga Ummu Habibah kehilangan tempat bernaung serta tidak tahu kemana harus pergi. Rasulullah SAW menikahinya untuk memuliakan kondisi dan statusnya, serta untuk menghargai sikap dan perjuangannya. ALLAH SWT juga telah mensyaratkannya melalui mimpi kepada Ummu Habibah ra. dan iamengatakan ” Ketika Ubaidillah ibn Jahsy meningga di Habasyah, aku bermimpi ada seseorang yang memanggilku dengan sebutan Ummul Mukminin, pertama aku bingung namun setelah aku takwilkan bahwa Rasulullah saw kelak akan menikahiku”. (Shifat al-Shafwah (2/43);Taqrib al-Tahdzib :747).

8. Juwairiyah ra.

Adalah putri Harist ibn Abi Dharar al-Khaza’iyyah dari bani Mustaliq. Beliau seorang janda dari Musafi’ ibn Safwan. Ayahnya seorang panglima bani Mustaliq, yang tewas oleh kaum muslimin dalam perang Murisi’. Rasulullah menikahinya pada tahun 5 H untuk menyentuh hati orang-orang bani Mustaliq. Aisyah ra. berkata “saya tidak pernah tahu ada seorang wanita yang membawa berkah besar kepada kaumnya selain dia (Juwairiyah)”. Sikap inilah yang kelak berperan besar dalam melunakkan hari Bani Mustaliq untuk masuk Islam.

9. Sofiyah ra.

Adalah putri Huyai ibn Akhtab, seorang panglima Yahudi,. Merupakan janda dari Kinanah ibn Abi al-Haqiq, yang terbunuh dalam perang Khaibar tahun 7 H, dan menjadi tawanan perang Khaibar. Nabi SAW memperlakukannya dengan baik dan memberi 2 pilihan yaitu :dibebaskan sebagai tawanan dan kembali ke kabilahnya, atau jika mau masuk ISlam ia akan dijadikan istri Beliau.Sofiyah lalu berkata “aku lebih memilih ALLAH dan Rasul-Nya”. Dalam buku Shifat al-Shofwah dikisahkan bahwa pada suatu hari Sofiyah bermimpi bahwa ada bulan yang jatuh ke kamarnya. Ketika diceritakan kepada ayahnya,. maka ayahnya sangat marah dan menampar wajah Sofiyah ra. hingga membekas sampai ia menjadi istri Nabi SAW.

10. Maimunah ra.

Yaitu putri dari Harist al-Hilaliyah, dari kabilah Bani Hilah. Rasulullah menikahinya pada akhir tahun 7 H, dalam perjalanan Beliau untuk menunaikan umroh Qadha.Menurut Qatadah dalam tafsir Ibnu Katsir bahwa yang dimaksud dalam ayat 50 Surat Al-Ahzab adalah Maimunah binti Harist (Tafsir Ibnu Katsir, 5/483). “Dan perempuan mikmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya”. (QS.Al-Ahzab.33:50).

Demikianlah ke 10 istri Nabi Muhammad SAW + Siti Khadijah. Poligami diatas didasarkan untuk menolong atau sebagai tuntunan/contoh bagi umat Islam, dan BUKAN BERDASARKAN HAWA NAFSU SEMATA. Dari 11 istri Nabi SAW tersebut, hanya Aisyah ra. yang bukan janda (saat menikah).

Wassalam.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar