Jumat, 27 September 2013

CUEK PADA QUR’AN ADALAH BENCANA.

Artinya kita akan bahagia dalam hidup ini selama interaksi dengan ajaran al-Qur’an diberikan dalam
porsi yang cukup besar. Sebaliknya, menerlantarkan
interaksi dengan al-Quran berarti
bagian dari musibah atas agama ini. Karena bagi
Rasulullah, tidak ada yang lebih mendekatkan
kaum muslimin di dunia ini selain selalu bersama al- Qur’an dalam setiap gerak dan langkah hidup.
Begitulah dahulu yang dirasakan oleh sahabat-
sahabat Rasulullah dan kaum muslimin generasi
awal.
Dikisahkan ketika Rasulullah berada dalam
kondisi kritis menghadapi sakaratul maut dan kembali kepada kekasihnya, Allah swt, para sahabat
dihadapkan dengan keadaan yang demikian dahsyat.
Imam Qurthubi -rahimahullah-
mengatakan bahwa wafatnya Rasulullah adalah
musibah terbesar umat Islam sejak saat itu
hingga hari kiamat kelak. Mengapa? Menurut beliau, setidaknya ada beberapa hal menjadikan
kewafatan Rasulullah adalah musibah besar dalam
kehidupan kaum muslimin: 1. Terputusnya wahyu Allah.
Wahyu Allah adalah kitabullah, al-Qur’an al- Karim,
pusaka umat Islam sampai akhir zaman.
Wafatnya Rasulullah sebagai nabi terakhir berarti terputus sudah kelangsungan wahyu yang merupakan
petunjuk bagi hidup manusia. Tidak ada lagi yang
namanya komunikasi langsung antara
seorang hamba dengan Tuhannya dalam bentuk yang
komunikatif. Selama Rasulullah
hidup, wahyu seolah sebagai respon atas apa yang terjadi antara kejadian, wahyu, Rasulullah dan
Allah swt. Tapi, setelah Rasulullah telah tiada semua itu
terputus habis. Oleh karena itu, kebanyakan
para sahabat menangis dan sedih dengan kepergian
Rasulullah. Dan kita
diperintahkan untuk selalu teringat dengan musibah wafatnya Rasulullah saw ini ketika
dihadapkan dengan musibah hidup yang sebenarnya
tidak seberapa dengan musibah
kepergiannya beliau ke haribaan Allah swt. Hal ini
bertujuan agar kita sadar dan memandang
bahwa musibah sebesar apapun yang kita hadapi masih ringan dan harus dihadapi dengan sabar, ikhlas
dan ridho. Rasulullah saw bersabda: ﻢﻛﺪﺣﺃ
ﺍﺫﺇ ﺎﻬﻧﺈﻓ ﻰﺑ ﻪﺑﺎﺼﻣ ﺔﺒﻴﺼﻣ
ﺮﻛﺬﻴﻠﻓ ﺐﺋﺎﺼﻤﻟﺍ ﻢﻈﻋﺃ ﺏﺎﺻﺃ
“Apabila salah seorang di antara kalian tertimpa
musibah hendaknya ia mengingat musibahnya dengan musibah (kewafatan) ku. Karena musibahku itu
adalah musibah terbesar umat ini.” (Silsilah Shahihah
oleh Albani No. 1106) Rasulullah wafat berarti tidak ada
lagi nabi
setelah beliau saw. Dan di sini kita patut sedih.
Rasulullah yang meninggalkan hadits dan siroh beliau saja yang dicatat oleh para sahabat setia beliau.
Dengan al-Quran dan hadits nabi ini Insya Allah kita
akan selamat dunia dan akhirat. 2. Berhentinya estafet
kenabian. Apabila ketika beliau saw wafat saja banyak
para sahabat yang terguncang hebat, maka apa
lagi dengan kita yang sudah sangat lama ditinggal beliau dan jauh dari ajaran yang dibawanya.
Tentunya akan sangat besar musibah yang kita hadapi
sekarang. Perhatikan bagaimana hebatnya guncangan
yang
terjadi pada para sahabat Rasulullah. Ketika
Rasulullah wafat, Ali menyendiri hening di rumah istrinya Fathimah ra. Utsman sendiri terdiam
karenanya. Umar bin Khattab ra tidak terima beliau
wafat dengan menyebut-nyebut kepada kaum
muslimin bahwa Muhammad tidak wafat. Tapi ia pergi
sebentar kepada Tuhannya seperti
halnya nabi Musa alaihissalam. Dan kelak akan kembali lagi ke dunia ini. (Lihat Kitab al-Awashim
minal Qowashim hal. 38) Sementara Abu Bakar tetap
tenang, tegar dan ridho. Baik ketika melepas
kekasihnya, Rasulullah saw
ataupun ketika menghadapi ‘sikap’ Umar
yang tidak terima kepergian Rasulullah. 3. Terputusnya kebaikan dan awal berkurangnya segala kebaikan
manusia. Tentu saja kewafatan Rasulullah sebagai nabi
akhir zaman dan pembawa petunjuk Allah
meninggalkan jejak yang begitu menyedihkan.
Bagaimana tidak? Al-Qur’an sebagai petunjuk
dan sumber kebaikan telah terputus dari tengah- tengah hausnya para sahabat dan umat Islam. Begitu
pula, wafatnya beliau menandakan awal dari
kurangnya kebaikan dan awal dari proses pergiliran
munculnya kejahatan. Baca kembali
bagaimana guncangnya dunia Arab. Yang paling
parah adalah munculnya kaum murtaddin (orang- orang murtad) dari agama Allah. Umat Islam saat itu
bagaikan anak-anak domba di malam hari karena
kehilangan nabinya. (Siroh Ibnu Hisyam)
Lalu bagaimana sebagai umat Rasulullah yang
hidup di akhir zaman kita berbuat?
Hanya ada satu jawaban. Yakni kembali kepada al- Qur’an. Membaca, merenungi, menghayati dan
menghafalkannya semampu mungkin. Insya Allah
dengan melakukan interaksi intensif seperti
ini kelangsungan wahyu Allah akan tetap kita
rasakan. Kebaikan pun pasti selalu peroleh lewat
tadabbur dan penghayatan yang mendalam. Karena memang al-Qur’an ini akan selalu relevan dengan
waktu dan zaman. Hafalkan al- Quran sebanyak dan
semampu kita. Jangan
lewatkan ia sebagai wirid harian bagi anda yang
sudah hafal beberapa juz dan halaman.
Dari tadabbur dan interaksi yang baik ini, akan lahir keinginan untuk meniti siroh beliau saw dalam amaliah
praktek operasional. Tanpa hadits- hadits nabi yang
shahih tidak ada petunjuk Allah
yang bisa kita timba. Karena siroh Rasulullah
bagaikan buku panduan sebuah barang baru
yang telah kita beli. Tanpa buku panduan itu mustahil kita bisa benar dalam menggunakan barang baru itu.
Atau mungkin malah rusak tidak karuan.
Begitu pula peran sunnah, hadits dan siroh
Rasulullah yang harum dan mutawatir. Rasulullah
saw telah wafat, wahyu sudah terputus, kebaikan
sudah mulai berkurang dan banyak umat, paham dan aliran muncul ke permukaan hidup manusia. Hingga
saat ini dan sampai akhir
zaman nanti. Mari kita pegang kuat-kuat pesan
Rasulullah saw yang sudah wafat dan
meninggalkan kita untuk tetap setia dan komitmen
bersama al-Qur’an dan sunnah. Insya Allah nuansa wahyu, kenabian dan kebaikan Allah selalu bersama
kita. Aamiin.
Wallahu a’lam bish-showab.
— bersama Hamba Mengharap AmpunanNya dan 30 lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar