Sabtu, 28 September 2013

Aku telah merampas sesuatu yang paling berharga dari hidupnya. Dan sangat wajar jika perempuan ini datang dengan segunung lahar api. Hm... Koreksi. Aku tidak merampas apa pun, aku hanya memaksanya berbagi."Mei Rose.
"Jika cinta bisa membuat seorang perempuan setia pada satu lelaki, kenapa cinta tidak bisa membuat lelaki bertahan dengan satu perempuan?" Arini.
Mungkin, dongeng seorang perempuan harus mati, agar dongeng perempuan lain mendapatkan kehidupan.
Arini adalah seorang muslimah, cantik, baik hati, lembut, lulusan IPB, seorang penulis. Hidupnya hampir selalu dikaitkan dengan kisah-kisah dongeng, dan ia mengibaratkan dirinya sebagai seorang puteri. Hidup bahagia, dengan suami yang mencintainya dan iapun mencintai suaminya. Hidup dengan anak-anak yang lucu. Ia seorang tipikal ibu rumah tangga yang sejati.
Andika Prasetya seorang bapak yang baik, dosen, dan memiliki kehidupan yang mapan.
Mei Rose, seorang wanita keturunan tionghoa, tidak terlalu cantik, hidupnya penuh dengan penderitaan, tinggal dengan tantenya yang tidak mencintai dia. Hidup yang keras membuat karakternya juga keras, gigih, hingga ia sampai pada kehidupan yang lumayan mapan. Namun keadaan mengubahnya, ketika ada laki-laki yang menipunya dan memaksanya menjadi orang tua tunggal.
Suatu ketika, keadaan memaksa Mei Rose dan Prasetya untuk bertemu, di pinggir jalan, dengan Mei Rose sebagai korban tabrak lari setelah mencoba bunuh diri, dengan baju pengantin yang lengkap dan berbadan besar. Atas dasar kemanusiaan, Pras menolongnya dan membawa kerumah sakit. Bayinya terpaksa dilahirkan dalam kondisi prematur.
Arini, sebagai seorang istri, ia memiliki kepekaan yang besar, namun ia tidak tahu mengapa. Hanya saja bahwa ia merasa ada sesuatu yang sedang terjadi. Mencurigai suaminya? Ia rasa itu di luar logikanya. Suaminya masih lelaki shaleh yang dikenalnya dulu. Tidak ada yang berubah sedikitpun.
Kecurigaan Arini terjawab ketika bagian keuangan dari kampus tempat suaminya mengajar menanyakan kabar karena ada kuitansi pembayaran obat yang dibayarkan oleh suaminya. Merasa tidak ada anaknya yang sakit selama enam bulan terakhir ini, maka Arini mengecek ke rumah sakit dan mendapatkan nomor telepon yang bukan nomor telepon rumahnya.
Suara itu tegas, jelas, dan riang. Ada celoteh seorang anak di dekatnya ketika perempuan itu menyapa, Hallo, Nyonya Prasetya disini.....
Ketika dia tidak tahu bagaimana harus memilih, hidup memilihkan jalannya sendiri. Arini kaku di tempatnya berdiri. Sosok lelaki yang selama ini menempati sisi hatinya paling dekat, tampak di seberang jalan, menggandeng seorang anak lelaki kecil. Wajahnya terlihat kebapakan ketika menepuk pantat si boca, dan menghalaunya lembut ke dalam mobil.
Seorang perempuan tersenyum cera, mengamati dari belakang. Si lelaki menoleh, tidak berapa lama keduanya saling menggenggam tangan, detik berikutnya mereka bertatapan dengan kedalaman yang hanya bisa dirasakan keduanya.
Jarak tiga puluhan meter. Dua pasang mata saling memandang. Sepasang mata terluka.Sepasang mata lain seperti mata hewan buruan yang tersudut ke dalam perangkap, nanap dan panik. "Arini...!" Arini menggigit bibirnya, dia telah menunggu terlalu lama. Arini pergi dengan taksi.
Pras ingin berlari. Mengejar sosok Arini yang tergesa pergi membawa lukanya. Searusnya tadi dia berlari memburu Arini, mengejar dan meraih tangan perempuan itu, meminta maaf. Sebaliknya, lelaki itu maa mematung di tengah jalan seperti orang linglung.
Bagaimana laki-laki bisa keilangan syukur atas hadiah terindah yang Allah berikan kepada mereka? Pras tidak tahu bagaimana semua bermula. Dia hanya tahu, ketika sudah terjadi, dia harus masuk dalam aturan main yang ditetapkan Tuhan padanya, agar tak ada maksiat, agar semua sah setidaknya dimata-Nya. Dan semula berawal dari simpati dan keinginan menolong perempuan malang itu....
Jalan Sriwedari nomor 26. Arini memandang ruma itu. Istana kedua Pras.
"Bisa saya bicara?"
Perempuan di depannya tidak mengangguk atau menjawab. Hanya tangannya membukakan pintu lebih lebar. Mereka masih berpandangan. Mengukur kekuatan. Tapi aura peperangan sudah mulai terasa.
"Jika hanya untuk diri sendiri, percayalah saya tidak akan memohon padamu."
"Saya mohon padamu"
"Aku tidak bisa." Jawab Mei Rose.
"Sejak dulu kamu punya segalanya Arini, orang tua, suami yang baik, karir kepenulisan yang bagus. Segalanya."
"Sementara satu-satunya hal baik yang pernah terjadi seumur hidupku, hanya Pras!"
"Dengan begitu banyak kebahagiaan, tidakka seharusnya kamu bersyukur dan bisa sedikit bermurah hati?"
Pada saat yang bersamaan Pras muncul. Sesaat mata lelaki itu menyala gugup melihat Arini.
Arini berhenti berlari. Tak lgi berusaha mengindar dari luka. Sebaliknya, seperti busa, tubu Arini perlahan mengisap anak-anak panah yang menyimpan perih itu semakin dalam, hingga menyatu dalam diri.
Luka.
Tak pernah abadi dalam diriku
Ia selalu seperti taman bunga
dengan bau kasturi
Dan aku bermain-main di dalamnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar