Jumat, 27 September 2013
Dalam Alquran surah al-Mulk [67] ayat 1-2, Allah SWT berfirman, "Mahasuci Allah yang di tangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya (ihsan). Dan Dia Mahaperkasa lagi Maha Pengampun."
Ayat tersebut memberikan penjelasan secara gamblang bahwa AllahSWT adalah Zat yang Mahakuasa atas segala sesuatu yang kekuasaan-Nya bersifat absolut. Allah pula yang mengangkat dan menurunkan derajat seseorang, sesuai dengan kehendak-Nya. Allah yang menciptakan kehidupan dan kematian. Dan semuanya itu bertujuan untuk menguji manusia manakah yang paling optimal atau ihsan di dalam melakukan perbuatan baik.
Optimalisasi dalam berbuat baik (ihsan) merupakan salah satu watak dan karakter utama orang-orang yang beriman. Artinya, ketika berbuat kebaikan, dilakukannya penuh dengan kesungguhan, perencanaan yang matang, pelaksanaan yang terukur, serta evaluasi yang terarah. Tidak asal mengerjakan atau asal terpenuhi tugas dan kewajibannya.
Rasulullah SAW memberikan contoh bahwa shalat yang akan diterima itu adalah shalat yang diawali dengan wudhu yang baik, terpenuhi syarat dan rukunnya, berdiri, ruku, dan sujud yang dilakukannya secara sempurna dan tuma'ninah. Bahkan, ketika hal ini dilakukan, shalat pun berdoa kepada Allah SWT: "Ya Allah peliharalah orang ini dengan sebaik-baiknya karena ia telah memelihara aku dengan penuh kesungguhan." (HR Imam Bukhari).
Sejalan dengan hal tersebut, para ulama telah menetapkan tiga syarat utama di dalam beribadah. Pertama, dilakukan dengan penuh keikhlasan hanya semata mengharapkan rida Allah SWT. Hal ini sejalan dengan firman-Nya QS al-Bayyinah (98): 5. "Padahal, mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat. Dan yang demikian itulah agama yang lurus."
Kedua, dalam pelaksanaannya harus sesuai dengan ketentuan syariah. Tidak semata-mata berdasarkan pada perasaan atau mungkin tradisi dan kebiasaan saja. Dan yang ketiga adalah pelaksanaannya senantiasa dilakukan dengan penuh kesungguhan (mujahadah).
Tentu saja, kesungguhan ini bukan hanya pada ibadah mahdah (wajib), tetapi pada semua pekerjaan, apalagi yang berkaitan dengan kepentingan publik. Seorang pejabat dinilai bukan ditentukan oleh banyaknya pekerjaan yang dilakukan ataupun lamanya ia menduduki jabatan tersebut, tetapi oleh upaya dan kerja yang dilakukannya dengan penuh kesungguhan mengabdi pada kepentingan bersama.
Misalnya, ia tidak memanfaatkan jabatannya untuk memperkaya diri sendiri maupun kelompoknya. Sebab, jabatan itu adalah amanah yang akan dipertanggungjawabkan pada masyarakat dan juga kepada Allah SWT di hari kiamat nanti. Karena itu, dalam menghadapi situasi politik dan ekonomi sekarang ini yang sering menghadapi gejolak, maka konsistensi dan optimalisasi para pejabat di dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya merupakan sebuah keniscayaan sekaligus kebutuhan. Wallahu a'lam.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar